(Jakarta)
- Lebih dari setengah abad sebuah kesadaran baru untuk hidup dalam
sebuah kebersamaan, kebersatuan tekad untuk mencapai tujuan mulia yaitu
merdeka. Beribu janji, harapan dan ketulusan diikrarkan yang pada
puncaknya dari pelbagai pelosok Nusantara, yang merasa memiliki
ke-Indonesiaan mereka bertekad dan diwakili oleh dwi tunggal Soekarno
Hatta mengumandangkan “Indonesia Merdeka”.
Hari-hari ini sebagai anak bangsa seolah sedang galau berada di tengah padang gurun yang tiada bertepi walaupun untuk secercah harapan. Berbagai kasus brutalisme yang makin membara di negeri ini yang ditandai dengan teror pasukan siluman bersenjata api, yang setiap saat bisa mencabut nyawa orang-orang tertentu disinyalir jika dibiarkan, aksi pasukan siluman ini bukan mustahil suatu saat akan menyerang sendi-sendi kenegaraaan, termasuk menyerang kepentingan kepala.
Lebih jauh hal ini menambah deretan interpretasi dalam diri anak bangsa akan adanya indikasi pembantaian etnis yang dialami rakyat ketika mereka harus mati secara tragis dalam lembaga dan aparat yang selama ini “didewakan” bisa menyamankan nyawa warga NKRI. Mungkinkah ini indikasi dari prakondisi kudeta yang didengungkan akan menyerangkan pemerintah dalam bentuk yang lain?
Fenomena brutalisme ini tercatat ketika segelintir anak bangsa karena kesalahpahaman dan akibat ketidakjelasan tujuan berada pada tempat dan waktu terjadi percekcokan yang berakhir dengan keributan berdarah yang mengakibatkan ada yang tewas dan konon salah satu putra bangsa terbaik anggota pasukan elit negeri ini yang entah dengan alasan apapun berada di tempat terjadinya keributan dan berakhir dengan meregang nyawa bukan di medan laga.
Dalam rangka menegakkan hukum ditetapkan dan ditangkap empat orang pemuda yang dipersangkakan sebagai pelaku yang menyebabkan korban tewas. Mereka tidak ditahan di tempat sebagaimana biasanya. Biasanya selama dalam proses penyidikan di tahanan kepolisian namun saat ini semua serba kebetulan dengan alasan sel tahanan sedang renovasi, jadi penahanan dilakukan di lembaga pemasyarakatan.
Nasib tragis harus dialami oleh keempat tahanan yang selanjutnya menjadi korban penembakan dan meninggal dalam sebuah ruang dalam lindungan hukum negara oleh belasan orang bersenjata laras panjang bertopeng dan bertubuh tegap, orang tidak dikenal atau OTK menurut istilah Pangdam Jawa Tengah.
Kejadian lain beberapa saat yang lalu akibat aksi "coboy" seorang petugas lantas Polri yang dididik bukan untuk menembak mati seorang pelanggar lalu lintas. Kebetulan yang ditembak bukan rakyat biasa yang bisa didalihkan dengan seribu satu alasan, akibatnya markas Polres diserang dan dibakarnya dan sampai saat ini masih terus diupayakan berbagai langkah renovasi baik bangunan fisik maupun hubungan kedua lembaga pemegang bedil yang dibiayai rakyat untuk membela rakyat.
Antar sesama aparat anak bangsa banyak contoh tindak kekerasan menakutkan yang didemonstrasikan, terhadap rakyat yang tidak berdaya selalu terancam dan tertindas keadaan menebar ketakutan dengan tindakan memberondong peluru dari laras senjata, dan pertanyaan yang mengelayut pikiran kapankah rakyat yang melahirkan putra terbaik untuk membela mereka ?
Belum hilang dari ingatan bagaimana kesatuan polisi di ibu kota begitu sigap pada saat sebuah perusahan pengembang pertokoan yang menutup akses jalan masuk yang biasa dilalui masyarakat sekitarnya melewati dan menggunakan area jalan umum tersebut meminta bantuan aparat kepolisian untuk mengamankan usaha mereka. Apakah memang karena tidak diatur oleh undang undang maka kepolisian yang digaji rakyat melakukan apel di areal pertokoan yang dibangun developer agar rakyat takut ?
Ternyata pada saat apel di arena ruko yang sedang dibangun tersebut menurut sebaran berita pasukan polisi yang berseragam dan bersenjata sempat gentar karena ada serombongan preman istilahnya dengan bersepeda motor berputar-putar dengan raungan motor membuat rombongan polisi yang sedang apel tersebut menjadi ciut nyalinya dan meminta bantuan dari tingkatan polda yang ahirnya dengan gemilang menangkap dan memberangus “The notorious preman Hercules” dan kelompoknya.
Apa iya hanya seperti itu bergaya “Jango” nya gumam pemirsa yang menyaksikan bahasan “telusur” acara tengan malam di salah satu media elektronik, Cuma segitukah satriamu wahai pahlawanku ? kami bayar gajimu, kami beli seragammu, kami siapkan senjatamu dengan keringat dan derita terkadang dengan ikat perut menahan lapar bukan kah untuk jadi pejuang bela keadilan ?
Menghadapi nasib kami rakyat yang tertindas dan kehilangan hak atas tanah dan hasil yang ada baik di Mesuji, di Sape Sumbawa dan berbagai tempat lain, rumah ibadah yang dirusak dan jemaah yang terbunuh maupun terluka di Cikeusik dan Ciketing dan masih akan terus berlangsung keangkara murkaan ini, dan para satria harapan bangsa tidak berdaya mencegah dan kalaupun katanya penyidikan sudah berjalan namun terkesan seadanya, Yang kuasa pasti maha tahu akan amal dan perbuatan mana yang benar dan mana yang bathil.
Wahai para satria anak bangsa inikah perilaku brutal yang terbentuk dan inikah harapan ibu pertiwi? harapan keluarga, kebanggaan anak-anakmu ataukan ini sebuah kebanggaan semu yang berlebihan bahkan menjadi makhluk penebar teror mungkin karena cerminan kebodohan.
Hari-hari ini sebagai anak bangsa seolah sedang galau berada di tengah padang gurun yang tiada bertepi walaupun untuk secercah harapan. Berbagai kasus brutalisme yang makin membara di negeri ini yang ditandai dengan teror pasukan siluman bersenjata api, yang setiap saat bisa mencabut nyawa orang-orang tertentu disinyalir jika dibiarkan, aksi pasukan siluman ini bukan mustahil suatu saat akan menyerang sendi-sendi kenegaraaan, termasuk menyerang kepentingan kepala.
Lebih jauh hal ini menambah deretan interpretasi dalam diri anak bangsa akan adanya indikasi pembantaian etnis yang dialami rakyat ketika mereka harus mati secara tragis dalam lembaga dan aparat yang selama ini “didewakan” bisa menyamankan nyawa warga NKRI. Mungkinkah ini indikasi dari prakondisi kudeta yang didengungkan akan menyerangkan pemerintah dalam bentuk yang lain?
Fenomena brutalisme ini tercatat ketika segelintir anak bangsa karena kesalahpahaman dan akibat ketidakjelasan tujuan berada pada tempat dan waktu terjadi percekcokan yang berakhir dengan keributan berdarah yang mengakibatkan ada yang tewas dan konon salah satu putra bangsa terbaik anggota pasukan elit negeri ini yang entah dengan alasan apapun berada di tempat terjadinya keributan dan berakhir dengan meregang nyawa bukan di medan laga.
Dalam rangka menegakkan hukum ditetapkan dan ditangkap empat orang pemuda yang dipersangkakan sebagai pelaku yang menyebabkan korban tewas. Mereka tidak ditahan di tempat sebagaimana biasanya. Biasanya selama dalam proses penyidikan di tahanan kepolisian namun saat ini semua serba kebetulan dengan alasan sel tahanan sedang renovasi, jadi penahanan dilakukan di lembaga pemasyarakatan.
Nasib tragis harus dialami oleh keempat tahanan yang selanjutnya menjadi korban penembakan dan meninggal dalam sebuah ruang dalam lindungan hukum negara oleh belasan orang bersenjata laras panjang bertopeng dan bertubuh tegap, orang tidak dikenal atau OTK menurut istilah Pangdam Jawa Tengah.
Kejadian lain beberapa saat yang lalu akibat aksi "coboy" seorang petugas lantas Polri yang dididik bukan untuk menembak mati seorang pelanggar lalu lintas. Kebetulan yang ditembak bukan rakyat biasa yang bisa didalihkan dengan seribu satu alasan, akibatnya markas Polres diserang dan dibakarnya dan sampai saat ini masih terus diupayakan berbagai langkah renovasi baik bangunan fisik maupun hubungan kedua lembaga pemegang bedil yang dibiayai rakyat untuk membela rakyat.
Antar sesama aparat anak bangsa banyak contoh tindak kekerasan menakutkan yang didemonstrasikan, terhadap rakyat yang tidak berdaya selalu terancam dan tertindas keadaan menebar ketakutan dengan tindakan memberondong peluru dari laras senjata, dan pertanyaan yang mengelayut pikiran kapankah rakyat yang melahirkan putra terbaik untuk membela mereka ?
Belum hilang dari ingatan bagaimana kesatuan polisi di ibu kota begitu sigap pada saat sebuah perusahan pengembang pertokoan yang menutup akses jalan masuk yang biasa dilalui masyarakat sekitarnya melewati dan menggunakan area jalan umum tersebut meminta bantuan aparat kepolisian untuk mengamankan usaha mereka. Apakah memang karena tidak diatur oleh undang undang maka kepolisian yang digaji rakyat melakukan apel di areal pertokoan yang dibangun developer agar rakyat takut ?
Ternyata pada saat apel di arena ruko yang sedang dibangun tersebut menurut sebaran berita pasukan polisi yang berseragam dan bersenjata sempat gentar karena ada serombongan preman istilahnya dengan bersepeda motor berputar-putar dengan raungan motor membuat rombongan polisi yang sedang apel tersebut menjadi ciut nyalinya dan meminta bantuan dari tingkatan polda yang ahirnya dengan gemilang menangkap dan memberangus “The notorious preman Hercules” dan kelompoknya.
Apa iya hanya seperti itu bergaya “Jango” nya gumam pemirsa yang menyaksikan bahasan “telusur” acara tengan malam di salah satu media elektronik, Cuma segitukah satriamu wahai pahlawanku ? kami bayar gajimu, kami beli seragammu, kami siapkan senjatamu dengan keringat dan derita terkadang dengan ikat perut menahan lapar bukan kah untuk jadi pejuang bela keadilan ?
Menghadapi nasib kami rakyat yang tertindas dan kehilangan hak atas tanah dan hasil yang ada baik di Mesuji, di Sape Sumbawa dan berbagai tempat lain, rumah ibadah yang dirusak dan jemaah yang terbunuh maupun terluka di Cikeusik dan Ciketing dan masih akan terus berlangsung keangkara murkaan ini, dan para satria harapan bangsa tidak berdaya mencegah dan kalaupun katanya penyidikan sudah berjalan namun terkesan seadanya, Yang kuasa pasti maha tahu akan amal dan perbuatan mana yang benar dan mana yang bathil.
Wahai para satria anak bangsa inikah perilaku brutal yang terbentuk dan inikah harapan ibu pertiwi? harapan keluarga, kebanggaan anak-anakmu ataukan ini sebuah kebanggaan semu yang berlebihan bahkan menjadi makhluk penebar teror mungkin karena cerminan kebodohan.
Tiada seorangpun
yang mampu menilai secara baik kecuali para anak bangsa dan pemimpinnya
berdiri dan bercermin, sambil berkaca dan berjanji dalam hati," aku
telah berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negaraku, biarlah bila hari
akan berlalu dan anak-anak dan keluarga keturunanku dapat berbangga
karena mereka pernah terlahir dari pribadi yang mereka patut kagumi.
"Tanah Air Ku Indonesia. Negeri elok amat kucinta, Tanah tumpah darahku yang mulia, Yang kupuja sepanjang masa....", penggalan lagu rayuan pulau kelapa kini sepertinya hanya tinggal seonggok bangkai semata, sedang membusuk menanti proses alamiah mengalami penguraian unsur secara kimiawi akan menjadi molekul- molekul yang terlepas dari makna semula. Akankah seperti ini tujuan dan akhir perjalanan bangsaku tercinta ?
Jengkal demi jengkal bumi pertiwi nyaris tiada tersisa untuk anak cucu, karena telah dikuasai pemilik modal yang bukan berbendera warna darah dan kesucian pengorbanan, Sumber daya alam yang ada dalam kandungan ibu pertiwi yang menurut ayat-ayat cinta bermakna luhur “dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat” ternyata segelintir orang yang menerima dan menjalankan amanat suci ini tidak lebih telah mengeksekusi amanat konstitusi negara dan bertindak bagaikan mucikari yang bertindak menawarkan anak gadis bangsanya kepada semua pencari kepuasan nafsu ekonomisnya.
Alih-alih untuk mendongkrak pembangunan maka upaya pemanfaatan sumber daya alam yang juga merupakan hak yang harus diwariskan kepada generasi berikutnya tanpa pemikiran yang matang, telah secara massive seolah dijarah tanpa belas kasihan dan ketiadaan konsep yang cerdas nanti esok anak-anak bangsa ini akan dapat apa.
Hari-hari selanjutnya perlukah ada kesadaran baru untuk melakukan perenungan, untuk temukan jawaban masihkah kita perlu punya pemimpin ?, masihkah kita perlu katakan bahwa kita hidup rukun dan damai dalam sebuah negara yang kaya akan keragaman etnik dan budaya yang berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa ?
"Tanah Air Ku Indonesia. Negeri elok amat kucinta, Tanah tumpah darahku yang mulia, Yang kupuja sepanjang masa....", penggalan lagu rayuan pulau kelapa kini sepertinya hanya tinggal seonggok bangkai semata, sedang membusuk menanti proses alamiah mengalami penguraian unsur secara kimiawi akan menjadi molekul- molekul yang terlepas dari makna semula. Akankah seperti ini tujuan dan akhir perjalanan bangsaku tercinta ?
Jengkal demi jengkal bumi pertiwi nyaris tiada tersisa untuk anak cucu, karena telah dikuasai pemilik modal yang bukan berbendera warna darah dan kesucian pengorbanan, Sumber daya alam yang ada dalam kandungan ibu pertiwi yang menurut ayat-ayat cinta bermakna luhur “dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat” ternyata segelintir orang yang menerima dan menjalankan amanat suci ini tidak lebih telah mengeksekusi amanat konstitusi negara dan bertindak bagaikan mucikari yang bertindak menawarkan anak gadis bangsanya kepada semua pencari kepuasan nafsu ekonomisnya.
Alih-alih untuk mendongkrak pembangunan maka upaya pemanfaatan sumber daya alam yang juga merupakan hak yang harus diwariskan kepada generasi berikutnya tanpa pemikiran yang matang, telah secara massive seolah dijarah tanpa belas kasihan dan ketiadaan konsep yang cerdas nanti esok anak-anak bangsa ini akan dapat apa.
Hari-hari selanjutnya perlukah ada kesadaran baru untuk melakukan perenungan, untuk temukan jawaban masihkah kita perlu punya pemimpin ?, masihkah kita perlu katakan bahwa kita hidup rukun dan damai dalam sebuah negara yang kaya akan keragaman etnik dan budaya yang berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa ?