Hujan!

Aku susuri jalan ku di tengah derai hujan.. karena aku tak ingin engkau melihat.. bahwa saat ini aku menangis

Ketika

Betapa risaunya negeri ini, ketika tentara dan peluru senjata jadi kata-kata yang nyata

Bunga

Kamulah bunga yg mekar di taman hati indah rupawan parasmu menebarkan harum

Bersama

Saat teduh mataku meredup di sandaranmu.. sentuhlah keningku dengan ciuman indahmu

Prev Next

Mungkinkah Anas Sekonsisten Socrates ?


(Jakarta) - Hembusan tuntutan reformasi untuk membersihkan negara RI dari virus korupsi, kolusi dan nepotisme kini harus disadari hanya euforia sesaat kala para garda depan pembangun saat itu berteriak untuk menurunkan rezim yang telah puluhan tahun bertakhta terlibat dalam praktek memakan uang rakyat.

Kini gugatan itu hanya sekedar teriakan kosong lantaran praktek KKN masih menjamur bahkan praktek memakan uang rakyat menjadi-jadi. Ironisnya praktek ini bukan lagi diperankan oleh sang penguasa tetapi justru dilakoni oleh sebagian para pemikul suara rakyat (DPR) dan pemimpin partai walau tidak menutup kemungkinan beberapa pejabat khususnya di daerah-daerah tersandung dalam usaha merampas uang rakyat.

Menghadapi berbagai praktek korupsi ini, KPK sebagai lembaga ekstra ordinary telah menyeret beberapa tokoh dan telah menetapkan beberapa di antaranya sebagai tersangka dan harus membungkam sepi di kelamnya rumah tahanan.

Tetapi walaupun demikian gugatan ketidakpuasan dan jalannya upaya hukum yang telah dilaksanakan selama ini dirasa masih menemukan tanda tanya karena disinyalir tidak menyentuh pada aktor intelektualnya maupun substansi hukum yang sebenarnya. Hukum terasa hanya berkutat pada proses dan mengungkapkan kasus-kasus tanpa masuk dalam ranah substansi hukum untuk menyelesaikan.

Penegakan hukum yang tidak berimbang semacam ini pada akhirnya melahirkan polemik bahkan gugatan dalam masyarakat ketika praktek korupsi yang menghabiskan uang rakyat miliaran rupiah harus merasakan getirnya hidup di balik jeruji penjara lebih rendah dari seorang pencuri ayam yang mungkin terpaksa mencuri karena himpitan ekonomi.

Namun hari ini di Jumat kramat tanggal 22 Februari, Komisi Pemberantasan Korupsi secara tegas mengumumkan Ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum Sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Hambalang dan disambut dengan tepukan tangan dari wartawan yang saat itu hadir dalam konferensi pers dengan juru bicara KPK, Johan Budi.

Sambutan tepukan tangan ini diwarnai juga dengan tuntutan apakah Anas akan secara gentle bersiap untuk digantung di Monas sesuai dengan janjinya "Sepeserpun Anas korupsi, Anas siap digantung di Monas," tegasnya pada beberapa waktu saat diperiksa KPK sebagai saksi kasus Hambalang.

Namun pastinya semua itu hanyalah bualan tanpa makna. Rakyat mungkin tak akan menuntut banyak Anas untuk digantung. Tetapi rakyat berharap bahwa penetapan ini menjadi jalan yang bisa menghancurkan gurita korupsi yang telah sekian lama membumi di negeri Republik Indonesia ini.

Tetapi ada hal lain yang bisa dibuat Anas dalam memenuhi janjinya. Yakni dia menjalani proses hukum secara benar dan membongkar tabir predator pemakan uang rakyat di negeri ini.

Anas mungkin tidak secara ekstrim mengikuti kisah Socrates di zaman Yunani Kuno yang mau mempertahankan kebenarannya dengan meminum racun walau ada celah yang bisa membebaskannya kala itu.

Menghadapi kenyataan ini, kisah peradilan Socrates di zaman Yunani kuno tahun 399 SM bisa menjadi contoh untuk diperbandingkan. Penekanannya terletak pada konsistensi guru Plato tersebut yang mau bertanggung jawab dengan apa yang dilakukan dan bersedia untuk menjalani setiap keputusan hukum untuk membuktikan kebenaran. Walau dalam konteks saat itu Socrates dijadikan tumbal para aristokrat yang takut posisinya digeser oleh idealisme kaum yang telah mendapat pencerahan dari Socrates untuk hidup sebagai warga negara yang baik.

Saat kini orang terus memuji dan menyanjung eposnya. Kisah tentang pengadilan Socrates, pria inilah yang jadi bintang utama. Dia didakwa di pengadilan Athena. Socrates dianggap melakukan pelanggaran pidana karena pikirannya. Cara berpikir Socrates itu yang membuat dia jadi pesakitan. Socrates dinilai menyebarkan misi dan praktek pengajaran menyesatkan.

Socrates pun diadili. Hampir seluruh warga Athena hadir di Majelis Ekklesia (Majelis Pengadilan Rakyat Athena). Tak ada pretor atau pedarius yang membelanya. Dia jadi terdakwa sendiri.

Socrates tak terima diadili. Tapi dia tak lari atau deportasi. Protesnya itu justru diajukan di persidangan. Dia sengaja menyiapkan pidato pembelaan diri, demi sebuah reputasi. Bukan bertujuan untuk bisa lepas dari jerat hukuman. Di depan majelis, Socrates pun berfilsafat, yang membuat semua orang terkesima. Semangatnya makin merajalela kala seluruh orang menyimaknya. Socrates beretorika, memunculkan “kejujuran” sebagai nilai yang paling utama dari keseluruhan nilai yang diargumenkannya.

Tapi, perlawanan terhadap Socrates bukan berkurang. Dia tetap dicerca dan dipojokkan. Persidangan makin ramai. Gemuruh karena antara terdakwa dan penuntut saling berargumen dengan ilmu tingkat tinggi. Socrates berkata-kata lagi. “satu-satunya hal yang sangat disayangkan di sini adalah saya harus menghadapi maut hanya untuk sebuah kebaikan kecil yang telah saya perjuangkan dan persembahkan (untuk orang banyak) lewat praktek pengajaran filsuf saya ke generasi muda Athena..”. Sontak, pengadilan bergemuruh lagi. Riuh tepukan tangan bergelora seketika sebagai hadiah buat kalimatnya tadi.

Setelah seharian bersidang, giliran para juri beraksi. Mereka mengeluarkan putusan. Socrates duduk di kursi tengah dengan gagah. Wajahnya tak tertunduk atau pura-pura menitikkan air mata biar dikasihani. Dia tak menyerah sedikitpun. Karena baginya, yang penting adalah pengadilan tempat membersihkan diri dari segala fitnah dan tuduhan yang selama ini terjadi.

Socrates malah berkata-kata, “Di alam kematian, aku bisa selamanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan filsafat kesetiap orang yang kujumpai”.

Ternyata juri memutus banyak yang berpihak padanya. Tanda-tanda Socrates bakal bebas, sudah di depan mata. Namun, sejumlah praktisi hukum, tersinggung dengan omongan Socrates tadi. Walau voting juri memenangkan Socrates, tapi dia tetap dihukum. Socrates divonis mati.

Tapi, ada juga yang meriwayatkan lain. Kala vonis terjadi, Socrates disodori dua opsi. Dihukum mati minum racun, atau bebas dari segala hukuman dengan syarat menghentikan kegiatan filsafatnya.

Namun Socrates memilih opsi yang pertama. Hidup bukan jadi barang berharga buatnya. Yang terpenting ajaran prinsip yang mesti ditegakkan dengan benar. Para sahabatnya, bingung dengan pilihan Socrates tadi. Mereka tetap berusaha membebaskannya.

Tapi dasar Socrates memang gila. Dia tak tergoda. Socrates tetap bersikeras hidup dalam penjara, dengan pilihannya tadi. Karena dia memegang teguh apa yang pernah diucapkan pada murid-muridnya. Katanya, “hukum harus dipatuhi betapapun jeleknya”.

Waktu eksekusi, dilakukan dalam penjara. Eksekusi mati buatnya, tetap diberi pilihan agar dia bisa bebas dari hukuman. Racun disediakan dalam dua cawan. Petugas penjara menyodorinya tiga cawan. Socrates diminta membuat satu pilihan soal cawan yang harus diminumnya. Salah satu cawan, kosong tanpa racun. Dua lainnya, berarti racun yang harus ditenggak. Socrates pun memilih.

Dia sempat berpikir beberapa detik saja. Tiga cawan disusun berjejer tiga didepannya. Tangannya tanpa ragu memilih cawan yang ada di sisi paling kanan. Setelah dibuka, ternyata isinya racun yang mesti ditenggak. Socrates bukan mundur. Racun itu tetap diminumnya. Socrates pun mati seketika. Karena, hukum harus dipatuhi betapapun jeleknya.

Kini Anas menghadapi hal yang sama. Mugkinkah Anas akan konsisten dengan perkataannya. Jika ia tak bersalah maka proses hukum yang benar tanpa kongkalikong yang akan membenarkannya. Tapi jika bersalah apakah mungkin Anas Siap digantung?

Leave a Reply