Hujan!

Aku susuri jalan ku di tengah derai hujan.. karena aku tak ingin engkau melihat.. bahwa saat ini aku menangis

Ketika

Betapa risaunya negeri ini, ketika tentara dan peluru senjata jadi kata-kata yang nyata

Bunga

Kamulah bunga yg mekar di taman hati indah rupawan parasmu menebarkan harum

Bersama

Saat teduh mataku meredup di sandaranmu.. sentuhlah keningku dengan ciuman indahmu

Prev Next

Hambalang, Skenario Menggangsir Uang Rakyat Dalih Amanat Konstitusi (1)


(Jakarta) - Dalam minggu-minggu terakhir dari sebuah penantian panjang atas sebuah konstruksi hukum tentang Hambalang, masyarakat Indonesia digiring ke dalam sebuah suasana kegalauan bagaikan lorong tidak berujung. Ada apa sebenarnya dengan Hambalang?

Proyek Hambalang itu sendiri merupakan sebuah proyek  yang direncanakan agar nantinya generasi muda bangsa dapat mengukir prestasi olahraga karena memiliki sebuah tempat yang representative sebagai kawah candradimuka  tempat berlatih dalam mencapai prestasi.

Jika pembangunan dirampungkan sesuai target, maka  kompleks kawah candradimuka para atlet dari 20 cabang olahraga  di puncak bukit Hambalang inilah diharapkan bakal lahir para juara di tingkat nasional maupun internasional.

Itu mimpi yang digadang-gadang oleh segenap komponen bangsa, akan tetapi bagaimana kenyataannya, proyek prestisius bernilai triliunan itu mendulang kontroversi sejak disebut-sebut oleh tokoh kontroversial  mantan buron interpol  Nazaruddin. Menurut kicauan  Bekas bendahara umum Partai Demokrat itu mengungkapkan bahwa  anggaran proyek itu menjadi membengkak oleh karena jadi  barang bancakan baik partainya maupun berbagai pihak lain.

Sebuah tempat yang menjadi ajang mimpi meraih emas bagi atlet-atlet Indonesia kini cuma utopis. Mimpi yang sudah terkorupsi. Entah apa jadinya apakah  nanti jika sekolah akan  megah berdiri dan apakah korupsi di sana nanti akan semakin menjadi-jadi, ataukah lokasi  ini akan menjadi monumen sejarah megahnya, jatuh, bangun yang mewarnai rontoknya sebuah emporium kekuasaan?

Dalam urusan tanah ini, Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Adhyaksa Dault menjelaskan, sejak awal ia menjabat sebagai Menpora 20 Oktober 2004, belum ada proyek pembangunan pusat pembangunan olahraga di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Hanya ada proyek limpahan dari Direktorat Jenderal Olahraga Kemendiknas, yang memberikan tanah seluas 32 hektar di lokasi itu. Di atas tanah tersebut baru dibangun sebuah masjid dan dipagari sekelilingnya. Belum ada pembangunan lain karena tanah itu belum memiliki sertifikat.

"Sertifikatnya belum jadi karena tanah negara itu HGU nya dipakai pak Probosutedjo (PT. Buana Estate, pemilik tanah). Saya langsung katakan hentikan dan tidak boleh ada pembangunan di periode saya, kalau belum ada sertifikat," ujar Adhyaksa di depan gedung KPK, Jakarta, Selasa (18/12).

Sampai akhir masa jabatannya, kata Adhyaksa, bos PT. Buana Estate itu tidak juga melepaskan hak atas tanah tersebut. Tapi, tutur Adhyaksa, pihaknya harus tetap mengajukan anggaran terlebih dahulu untuk pembangunan sekolah olahraga Hambalang menggantikan sekolah terdahulu yang bertempat di Ragunan, Jakarta Selatan. Maka, pada akhir jabatannya, tahun 2009, Adhyaksa mengajukan anggaran Rp. 125 miliar sebagai dana pembangunan pusat olahraga tersebut.

Adhyaksa mengatakan, pada APBN 2009 anggaran sebesar Rp. 125 miliar tersebut memang sudah disepakati oleh Kemenpora dan Komisi Olahraga DPR. Permintaan dana itu, kata dia, hanya untuk mengantisipasi, jika sertifikat terpenuhi dan proyek pembangunan sekolah olahraga di Hambalang terwujud. Namun, pada akhirnya dana itu belum bisa dicairkan karena masalah sertifikat yang belum diselesaikan dengan pemilik tanah.

"Pada akhir tahun jabatan saya, September 2009 resmi dianggarkan Rp. 125 miliar untuk dicairkan sebagai single year pada tahun 2010. Itu saja yang saya tahu. Itu dana kita antisipasi saja," jelasnya.

Adhyaksa mengaku tak tahu menahu mengapa ada perubahan anggaran dari single year menjadi multiyears. Sepengetahuannya, hanya Rp. 125 miliar untuk Hambalang, karena tanah sekolah olahraga di Ragunan akan diambil alih oleh Pemprov DKI Jakarta.

"Mengenai berubah multi  years , berubah anggarannya, it"s not my bussines. That"s their bussines," pungkasnya.

Soal penganggaran proyek Hambalang antara zaman Andi  Mallarangeng dan Adhyaksa memang berbeda. Jika Adhyaksa mematok Rp. 125 miliar untuk proyek itu, maka Andi menetapkan dana lebih besar, yaitu mencapai Rp 1,2 triliun dengan perhitungan multiyears. Dalam kasus ini, Andi sempat menyebut bahwa ia hanya menjalankan proyek lanjutan dari Adhyaksa.

Hal ini telah dibantah Adhyaksa. Ia mengaku baru sampai pada tahap pengajuan anggaran. Sementara itu, urusan sertifikasi ditinggalkan, karena belum mendapat persetujuan. Adhyaksa dalam hal ini juga pernah menyebut ia siap dikonfrontasi dengan Andi terkait perencanaan proyek Hambalang. Ia mengaku ide pusat olahraga datang dari Andi. Ia sendiri hanya mengajukan pembangunan sekolah olahraga biasa dengan keyakinan dana Rp. 125 miliar cukup untuk membiayai proyek pembangunannya.

Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Adhyaksa Dault mengaku tidak tahu perihal pembengkakan nilai proyek pembangunan pusat sarana pendidikan olahraga Hambalang. Menurutnya, saat dana proyek tersebut disusun tahun 2006 yang dibutuhkan hanya senilai Rp. 125 miliar.

Bahkan, pada saat dirinya memimpin Kemenpora pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I, kata Adhyaksa tidak pernah ada dana sepeserpun yang dicairkan.

"Soal Rp. 2,5 triliun, mana saya tahu atuh., ini mah pengganti saya (Andi Alfian Mallarangeng) yang antum bisa tanya," kata Adhyaksa usai diperiksa sebagai saksi lebih dari 6 jam di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (18/12).

"Kita cuma ajukan Rp. 125 miliar itu juga dibintangi dan tidak dicairkan. Sepeserpun tidak ada yang cair. Tidak ada satu bangunan pun dibuat selama saya jadi Menpora," sambung Adhyaksa.

Pada September 2009, kata Adyaksa, dia pernah memerintahkan agar pembangunan gedung olahraga Hambalang dihentikan. Mengingat sertifikat tanah guna proyek itu belum diterbitkan BPN untuk Kemenpora.

Dalam kasus ini, KPK sudah menetapkan mantan Menpora Andi Mallarangeng dan bawahannya Dedy Kusdinar sebagai tersangka. BPK menduga proyek senilai Rp. 2,5 triliun ini merugikan negara hingga Rp 243,66 miliar.

Selanjutnya, siapa saja para pihak yang berjasa sebagai badan yang melahirkan bayi tabung proyek raksasa yang korban obesitas, apa peranan konsultan perencana sebagai professional yang diminta jasa untuk menyusun Rencana Aggaran Belanja Proyek sehingga layak pada nilai Rp. 2,5 trilunan.

Sejatinya proyek ini ditetapkan berdasarkan volume pekerjaan dan harga satuan dari setiap item pekerjaan. Permasalahan membengkaknya nilai proyek ditenggarai karena membengkaknya volume pekerjaan dan sekaligus diiringi dengan membengkaknya nilai harga satuan. Harga satuan setiap tahun diverifikasi dan diatur oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan BAPPENAS.

Apabila hipotesa ini terbukti benar maka kesimpulan yang dapat ditarik yaitu betapa bobroknya dan primitifnya sebuah proses perencanaan yang menghasilkan sebuah perbuatan mega korupsi yang terindikasi menggarong uang negara.

Banyak hal yang belum terungkap dari para aktor intelektual yang sejak awal di tahun 2009 turut berpartisipasi dalam menentukan pembangunan di areal seluas 32 hektar ini. Apakah masyarakat dapat mendiamkan penyimpangan ini walaupun telah diseretnya beberapa pribadi termasuk Anas Urbaningrum sebagai salah satu tokoh yang menjadi tersangka dalam kasus ini, mungkinkah yang terakhir?

Publik perlu melihat secara holistik semua proses yang berlangsung sehingga tidak ada koruptor yang berpura-pura menjadi "Rabi" dengan berpura-pura berniat suci memperjuangkan nasib anak bangsa dan mencuci tangan dalam kasus ini serta mempersembahkan sosok-sosok tertentu menjadi tumbal dari fenomena spiral memakan uang rakyat.

Titik tolak pemahaman publik atas kasus ini harus bertolak bukan hanya dari para tokoh-tokoh partai yang kini telah jadi tersangka tetapi juga ada pihak-pihak lain yang harus bertanggung jawab dengan menggelembungnya anggaran ini mulai dari Konsultan Perencana,  Badan Anggaran DPR (Banggar), Jajaran Kemenpora, Komisi X DPR, Kemenkeu, Bappenas dan BI yang menggelontorkan Dana.

Hal ini penting agar nyanyian bekas bendahara umum Partai Demokrat itu mengungkapkan anggaran proyek bernilai Rp 1,5 triliun itu menjadi bancakan partainya tidak dilihat sebagai pelaku utama saja akan tetapi bagaimana praktek kolaborasi sempurna yang tersusun secara terencana dan sistemik .

Menurut Nazaruddin sendiri sekitar Rp. 50 miliar dari anggaran itu digunakan untuk pemenangan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum Partai Demokrat pada kongres di Bandung, Mei 2010, dan untuk persiapan pencalonan Anas sebagai presiden pada 2014. Anas, yang pernah berkongsi dengan Nazaruddin di beberapa perusahaan, sudah berkali-kali membantah tudingan Nazaruddin.

Sementara Nazaruddin menuding bahwa mantan koleganya tersebut menerima uang setidaknya Rp. 10 miliar dari proyek P3SON Hambalang, sedangkan pihak-pihak lain juga menerima uang dalam jumlah berbeda.

"Uang Rp. 100 miliar itu kesepakatan antara Anas Urbaningrum dengan PT. Adhi Karya, sebanyak  Rp. 50 miliar untuk Anas, Rp. 10 miliar buat Mirwan (Amir) dan Olly (Dodokambey), Rp. 10 miliar untuk Mahyuddin, Rp. 5 miliar buat Mukhayat (mantan deputi menteri BUMN), Rp. 5 miliar untuk Wafid (mantan Sekretaris Menpora), dan Rp. 20 miliar untuk Menpora," kata Nazaruddin pada Rabu (7/11).

Nazaruddin mengungkapkan, Mahyuddin berperan dalam mengamankan penganggaran proyek Hambalang di Komisi X DPR.

Meski diterpa kasus korupsi namun tokoh-tokoh yang dianggap sebagai "Panglima dan Jajaran Pelaksana” dalam kasus ini masih belum secara detail terungkap. Ini menjadi hal utama yang harus menjadi titik pergumulan para pemegang kebijakan di negeri ini untuk mengusutnya.

Karena skenario memakan uang rakyat ini sudah mulai dari awal dengan memanfaatkan amanah Konstitusi UUD 1945 pada amandemen keempat (18 Agustus 2002) Pasal 31 ayat 4 menyatakan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Kemudian pemerintah menindaklanjuti dengan membuat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional. Entah apa jadinya andai sekolah megah ini sudah berdiri. Apakah korupsi yang mengintai dunia pendidikan  juga nanti akan semakin menjadi-jadi?

Leave a Reply