Hujan!

Aku susuri jalan ku di tengah derai hujan.. karena aku tak ingin engkau melihat.. bahwa saat ini aku menangis

Ketika

Betapa risaunya negeri ini, ketika tentara dan peluru senjata jadi kata-kata yang nyata

Bunga

Kamulah bunga yg mekar di taman hati indah rupawan parasmu menebarkan harum

Bersama

Saat teduh mataku meredup di sandaranmu.. sentuhlah keningku dengan ciuman indahmu

Prev Next

Jangan Biarkan Jokowi-Ahok Kehabisan Bensin


(Jakarta) - Bak roket yang baru diluncurkan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) langsung tancap gas menilik dan menangani sejumlah masalah rumit yang terus melilit ibukota Jakarta, selama hampir satu dekade ini dari mulai banjir, kemacetan hingga tata ruang perkotaan.

Sejak memasuki kantor di Merdeka Selatan pada Oktober lalu hampir setiap pekan secara terpisah keduanya melakukan kunjungan mendadak ke beberapa titik di seluruh wilayah Jakarta yang menjadi masalah dan perlu segera dibenahi.

Masyarakat masih ingat bagaimana Jokowi di hari kedua pemerintahannya melakukan inspeksi ke beberapa kantor kelurahan dan mengecek langsung kualitas pelayanan publik yang disajikan oleh kantor kelurahan maupun kecamatan khususnya pelayanan kependudukan.

Tak lama dari situ, Gubernur DKI yang memenangkan pilkada 2012 melalui pertarungan dua putaran melawan Fauzi Bowo itu juga meninjau sarana transportasi umum, berkunjung ke bantaran sungai dan terakhir "menengok" gorong-gorong di sekitar Bundaran Hotel Indonesia.

Langkah populis yang dilakukan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini secara umum memang layak diacungi jempol dan memang pada kenyataannya diapresiasi secara luas oleh masyarakat dan media massa. Pemandangan puluhan wartawan "bersiaga" setiap hari Balaikota DKI Jakarta hingga menjelang 100 hari kepemimpinan mantan Walikota Solo itu juga masih nampak.

Ini menunjukkan Jokowi memang menjadi salah satu "ikon" baru bagi pemimpin yang memiliki semangat pembaharuan. Namun, menjadi sebuah pertanyaan menarik, sampaikan kapan langkah tancap gas pria kelahiran Surakarta 21 Juni 1961 itu bisa terus dilakukan mengingat masa kepemimpinannya masih tersisa lebih dari empat tahun lagi?

Koordinasi dan Kerja sama Seperti dilansir oleh media massa jumlah pegawai negeri sipil di lingkungan Pemprov DKI Jakarta mencapai 78.589 orang, artinya di belakang Jokowi dan Ahok ada puluhan ribu PNS Pemprov DKI Jakarta yang melayani masyarakat, jumlah itu tentunya belum termasuk tenaga honorer yang belum diangkat menjadi PNS.

Jumlah pegawai Pemprov DKI tersebut disatu sisi dapat menjadi modal yang kuat untuk perbaikan Jakarta dan menciptakan Jakarta baru seperti slogan kampanye Jokowi bila potensi itu mampu digerakkan dan dikoordinir dengan baik. Namun di sisi lain, justru menjadi titik lemah bila 78.589 pegawai itu tidak menjalankan tugas dengan baik sesuai tata kerja yang sudah digariskan.

Jokowi dan Ahok memasuki 100 hari masa pemerintahannya harus lebih pandai memilih mana yang harus diperbaiki terlebih dahulu dalam proses membenahi Jakarta agar ibukota dari negara berpenduduk 250 juta jiwa ini dapat sejajar dengan ibukota negara-negara lainnya dari sisi kebersihan, keindahan, modernisasi, pelayanan masyarakat, transportasi dan aspek-aspek kehidupan lainnya.

Hingga awal Januari 2013 di sejumlah sudut ibukota, di lima wilayah DKI Jakarta kita masih jumpai ketidakteraturan, lingkungan yang kotor, perilaku warga yang justru merusak kotanya sendiri secara tidak sadar, pengabaian terhadap keteraturan dan lain sebagainya. Ini merupakan salah satu pekerjaan rumah Gubernur DKI ke-17 ini.

Kerja Gubernur dan Wagub tidak terlalu berat andaikata masing-masing Walikota dan kepala pemerintahan hingga tingkat kelurahan bisa memastikan wilayahnya tertata dengan baik, bebas dari masalah perkotaan dan tertib. Sayangnya di beberapa sudut kota hal tersebut belum terwujud dengan baik.

Ketegasan Bila berkesempatan menelusuri jalan-jalan utama ibukota baik di wilayah Jakarta Pusat dan empat wilayah lainnya, masih kerap kita lihat ketidakteraturan itu. Tak hanya masalah kebersihan, masalah lingkungan yang tidak teratur pun belum mengalami banyak perubahan. Tengok saja wilayah Tanah Abang, di sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Tanah Abang, hampir setiap hari wilayah itu dirudung kemacetan parah terutama saat jam berangkat kantor dan jam pulang kantor.

Selain perilaku masyarakat yang tidak kunjung tertib dalam berkendara, parkir di bahu jalan, tidak tertatanya pedagang kaki lima dan puluhan truk yang melakukan bongkar muat barang yang memakan sebagian besar badan jalan memberikan andil besar terhadap kemacetan tersebut, padahal tak jauh dari lokasi itu terdapat kantor Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan tidak lebih 10 km jaraknya dari Balaikota Jakarta.

Selain kerumitan lalu lintas, masalah kebersihan dan upaya untuk merawat sarana umum yang telah ada juga masih belum memuaskan. Pejalan kaki yang menggunakan pedesterian di sepanjang Jalan Thamrin dan Sudirman pun kurang diberi kesempatan untuk membuang sampah pada tempatnya karena minimnya jumlah tempat sampah di sepanjang pedesterian itu. Belum lagi kondisi pedesterian yang memprihatinkan seperti rusak di beberapa titik serta kusam karena tidak secara reguler dibersihkan.

Pojok-pojok pemukiman dan perkampungan di Jakarta masih diselimuti tumpukan sampah, meski tidak menggunung namun meninggalkan kesan kumuh. Taman-taman kota meski ditanami namun perawatan tanaman kurang maksimal. Pedesterian di seberang Istana Merdeka Jakarta tampak kusam. Belum lagi bila usai aksi demonstrasi, peninggalan para pendemo berupa sampah plastik wadah makanan dan minuman bertebaran dimana-mana.

Masalah-masalah itu baru sebagian kecil dari kerumitan masalah yang mendera Jakarta selama ini. Semua itu dapat diatasi bila Gubernur dan Wagub lebih tegas dalam memastikan aparat-aparat pemerintahan di wilayah dari tingkat kota hingga kelurahan bertanggungjawab penuh atas kondisi daerah yang dipimpinnya. Ibarat manajer klub sepakbola di liga Italia atau Inggris, maka ia bertanggungjawab atas upaya capaian maksimal dari tim yang ditukanginya dan siap menerima konsekuensi dari pemilik klub bila kesebelasan yang diasuhnya tidak maksimal prestasinya.

Gubernur dan wagub juga harus lebih tegas mengatasi masalah kemacetan lalu lintas dan juga penanganan banjir dengan dukungan penuh masyarakat dan juga instansi lainnya seperti kepolisian. Bila itu semua diwujudkan, kita tentu tidak perlu khawatir Jokowi dan Ahok kehabisan "bensin" di tengah jalan, di tengah masa pemerintahannya dan kita tidak lagi iri bila kebetulan berkunjung ke Singapura, Kuala Lumpur atau Tokyo melihat suasana tertib dan bersih di kota-kota itu.

Leave a Reply