Hujan!

Aku susuri jalan ku di tengah derai hujan.. karena aku tak ingin engkau melihat.. bahwa saat ini aku menangis

Ketika

Betapa risaunya negeri ini, ketika tentara dan peluru senjata jadi kata-kata yang nyata

Bunga

Kamulah bunga yg mekar di taman hati indah rupawan parasmu menebarkan harum

Bersama

Saat teduh mataku meredup di sandaranmu.. sentuhlah keningku dengan ciuman indahmu

Prev Next

Institusi Penegak Hukum Masih Menganggap Korupsi Kejahatan Biasa


(Jakarta) - Aspirasi rakyat tentang urgensi pentingnya efek jera untuk membunuh niat melakukan korupsi belum direspons institusi penegak hukum. Pemberantasan korupsi akan terus menghadapi hambatan serius, jika sanksi hukum terhadap terpidana korupsi terus dibiarkan ringan seperti sekarang.

Institusi penegak hukum dan lembaga peradilan perlu memiliki kesamaan pemahaman mengenai urgensi efek jera. Kesepahaman itu harus dicerminkan dalam formula tuntutan dan sanksi hukum kasus korupsi. Urgensi sanksi hukum berefek jera terhadap koruptor sudah lama diwacanakan di ruang publik. Bahkan, bisa dikatakan bahwa persoalan ini sudah menjadi aspirasi rakyat. Sebab, sudah sangat lama rakyat tersakiti oleh maraknya perilaku korup yang sistemik di negara ini.

Selain itu, rakyat juga sangat kecewa karena dalam banyak kasus, perilaku korup sudah sangat terbuka, tidak hanya di tingkat elit, tetapi juga di lapisan tengah dan bawah. Para pelakunya sangat berani, tidak malu-malu lagi, bahkan tidak jarang dipertontonkan. Menikmati hasilnya pun para koruptor sangat leluasa; tidak perlu sembunyi-sembunyi. Sebab, tidak ada yang berniat mempertanyakan.

Alasan-alasan inilah yang memunculkan wacana tentang sanksi hukum berefek jera terhadap koruptor. Karena perilaku korup yang sudah sedemikian brutal, pelakunya harus diganjar dengan hukuman seberat-beratnya. Tujuannya, agar orang baik-baik jera, dan tidak terdorong untuk ikut-ikutan berperilaku korup karena takut menerima hukuman berat.

Rupanya, aspirasi rakyat ini belum dihayati institusi penegak hukum dan para pengadil di lembaga peradilan, khususnya para hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Bisa jadi karena ada perbedaan dalam mempersepsikan fakta korupsi di negara ini. Kalau rakyat sudah mendeskripsikan korupsi sebagai kejahatan luar biasa terhadap negara dan rakyat, institusi penegak hukum dan para Pengadil Tipikor rupanya masih melihat kasus-kasus korupsi sebagai kejahatan biasa.

Barangkali, institusi penegak hukum dan korps hakim Tipikor masih memahami korupsi sebagai kejahatan pencurian biasa yang sederajat dengan perampokan di jalan atau penipuan terhadap sekelompok orang. Kalau benar demikian, berarti institusi penegak hukum dan korps pengadil Tipikor belum sepenuhnya nyambung dengan agenda reformasi tentang pemberantasan korupsi. Dan, karena alasan belum nyambung itu, tuntutan para jaksa dan vonis pengadilan terhadap terdakwa korupsi benar-benar belum memuat atau mengandung efek jera itu.

Termasuk tuntutan dan vonis terhadap kasus-kasus korupsi yang menjadi perhatian masyarakat di seantero negeri. Persoalan efek jera ini kembali menjadi bahan obrolan banyak orang pasca penetapan vonis Pengadilan Tipikor Jakarta atas perkara Angelina Sondakh. Kalau ditambahkan lagi dengan puluhan atau ratusan kasus korupsi lainnya, masyarakat memang tidak melihat ada efek jera dari sanksi hukum yang dijatuhkan kepada terpidana korupsi.

Mungkin, dahaga keadilan masyarakat terpuaskan hanya pada kasus mantan jaksa Urip Tri Gunawan yang diganjar 20 tahun penjara. Sebaliknya, pada begitu banyak perkara korupsi lain, rata-rata sanksi hukum di bawah lima (5) tahun, minus perampasan harta hasil korupsi. Mungkinkah perilaku korup bisa diberantas jika tidak ada efek jera dalam tuntutan dan vonis pengadilan ?

Terbukti bahwa semakin banyak jumlah terpidana korupsi, kasus-kasus baru justru terus terungkap. Terjaganya eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum membuat orang jera. Para pelaku hanya meningkatkan kehati-hatian dalam merancang modus. Dari situasi seperti itu, menjadi jelas bahwa tuntutan dan vonis pengadilan Tipikor menjadi faktor yang paling bisa menumbuhkan efek jera yang meluas. "Persepsi dan Kesepahaman" Adakah kemauan institusi penegak hukum dan Peradilan Tipikor menumbuhkan efek jera untuk memberantas korupsi ?

Inilah persoalan yang jelas-jelas masih menjadi faktor penghambat pelaksanaan agenda pemberantasan korupsi. Tentu saja negara dan rakyat tidak boleh terperangkap dalam situasi seperti sekarang. Harus ada prakarsa bersama untuk menambah daya gempur dalam perang melawan korupsi. Tujuan utama dari prakarsa bersama itu adalah menyamakan persepsi institusi penegak hukum dan Peradilan Tipikor tentang korupsi sebagai kejahatan luar biasa terhadap negara dan rakyat.

Kalau penyeragaman persepsi itu sudah terbentuk, barulah dirumuskan kesepahaman tentang formula tuntutan dan vonis yang mengandung efek jera. Penyeragaman persepsi dan kesepahaman seperti ini penting untuk menghindari ketimpangan antara formula tuntutan dan vonis pengadilan. Jangan sampai formula tuntutan sudah memasukan efek jera, tetapi vonis pengadilan Tipikor-nya justru menghilangkan efek jera-nya itu.

Kesepahaman yang dimaksud tidak dalam arti jaksa dan hakim harus sama dalam menyikapi perkara terdakwa. Tetapi setidaknya beda cara pandang atau penilaian tidak terlalu jomplang. Minimal, ada pemahaman yang hampir sama antara jaksa dan hakim saat menyikapi latarbelakang atau status terdakwa. Misalnya, bagaimana memaknai dan menyikapinya manakala yang diperiksa dan diadili adalah terdakwa yang berstatus sebagai anggota parlemen, pegawai negeri sipil golongan rendah atau pejabat tinggi negara.

Kesepahaman itu setidaknya berujung pada persepsi yang sama bahwa kalau si terdakwa berstatus pejabat negara atau anggota parlemen dan terbuki menyiasati kekuasaan dan kewenangannya untuk tujuan korupsi, sanksi hukumnya harus memuat efek jera, dalam arti seberat-beratnya, agar pejabat lain dan anggota parlemen lainnya tidak mengulangi perbuatan yang sama. Penyeragaman persepsi itu bisa saja diprakarsai bersama oleh pemerintah, DPR/MPR dan Mahkamah Agung (MA). Negara harus memiliki komitmen dan keberanian untuk memberi ganjaran yang berat kepada koruptor.

Dalam sebuah rapat kerja nasional Pemerintah pada 2012, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengajak seluruh jajaran pemerintahan mencegah dan memberantas korupsi anggaran negara. Presiden juga minta BPK, KPK serta BPKP bekerjasama menyelamatkan uang negara. Ajakan ini sebagai tindak lanjut Inpres No 17/2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Harap dicamkan bahwa Inpres terbaru ini merupakan lanjutan Inpres No. 9/2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011.

Dalam dua Inpres ini, Pemerintah mengimplementasikan enam strategi sesuai rekomendasi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Enam strategi itu meliputi Pencegahan pada Lembaga Penegak Hukum; Pencegahan pada Lembaga Lainnya; Penindakan; Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan; Penyelamatan Aset Hasil Korupsi; Kerjasama Internasional; dan Pelaporan. Untuk pelaksanaannya, Inpres ini memerintahkan seluruh lembaga pemerintah, dari pusat sampai daerah, harus berkoordinasi dengan KPK, Bank Indonesia, PPATK, Ombudsman Republik Indonesia, LPSK, BPK, KY dan MA.

Strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi yang termuat dalam dua Inpres tadi mestinya sudah bisa menumbuhkan efek jera di tubuh birokrasi negara. Pemberantasan korupsi akan semakin efektif jika semangat yang terkandung dalam dua Inpres tadi dihayati oleh institusi penegak hukum dan dipahami oleh korps pengadilan Tipikor. Penghayatan oleh insitusi penegak hukum harus tercermin pada formula sangkaan dan dakwaan yang mengandung efek jera. Sedangkan pemahaman peradilan Tipikor pun mestinya terlihat pada vonis yang juga memuat efek jera.

Leave a Reply